CEO Forum: Perkembangan Ekonomi Syariah Tahun 2009: Suatu Tinjuan Kritis
CEO Forum: Perkembangan Ekonomi Syariah Tahun 2009: Suatu Tinjuan Kritis
Ekonomi syariah saat ini sedang menjadi perbincangan yang sangat hangat di tengah-tengah krisis keuangan yang terjadi. Kehancuran pasar finansial Amerika Serikat (AS) saat ini disebut-sebut akan mendorong penguatan ekonomi syariah. Dengan fenomena tersebut, maka CEO Forum kali ini menghadirkan Ir. Adiwarman A. Karim, SE, MBA, MAEP sebagai salah satu pakar ekonomi syariah yang menjabat President Director KARIM Business Consulting untuk menyampaikan tentang “Perkembangan Ekonomi Syariah Tahun 2009 : Suatu Tinjuan Kritis”. Acara ini seperti biasa berlangsung pada pukul 10.00-12.00 WIB di ruang mahoni MB-IPB. Presentasi diawali dengan penjelasan beliau mengenai proses terjadinya krisis keuangan di AS dengan bahasa yang mudah di mengerti oleh audience. Beliau menjelaskan bahwa krisis finansial AS berawal dari subprime mortgage, yang terjadi karena kegagalan debitur membayar utang. Pemicu besarnya dampak subprime mortgage adalah banyaknya tahapan sekuritisasi surat utang oleh berbagai lembaga keuangan AS.
Beliau menyampaikan bahwa kondisi dunia yang seperti ini menggambarkan kegagalan dari sistem ekonomi kapitalis untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan dunia. Lain halnya dengan ekonomi islam yang menerapkan bahwa setiap transaksi perdagangan harus dijauhkan dari unsur-unsur spekulatif, riba, gharar, majhûl, dharar, mengandung penipuan, dan yang sejenisnya. Terdapat tiga hal yang menjadi acuan (rukun) dalam ekonomi islam, yaitu pertama harus ada para pihak, sehingga tidak akan terjadi hemaphrodite economic; kedua tidak akan terjadi buble economy, karena berprinsip ma’kud alaih, ”ada uang ada barang”. Artinya sistem ekonomi Islam hanya membolehkan penyaluran dana kredit atau pembiayaan bila memang ada aset yang dijadikan dasar transaksi (underlying), dan juga tidak memperbolehkan adanya instrumen derivatif. Mengutip dari pernyataan Al-Ghazali yang mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna.
Ketiga, sistem ekonomi syariah harus adanya kesepakatan (fair economic transaction) sehingga tidak terjadi kecurangan yang pada gilirannya akan meningkatkan volume perdagangan, menurunkan risk premium dan besaran economic conjucture. Perkembangan sektor finansial harus diiringi dengan perkembangan sektor riil. Keberadaan sektor keuangan pada dasarnya hanyalah aktivitas yang mendorong aktivitas ekonomi produktif, dimana transaksi-transaksi keuangan selalu bersandar sekaligus bermuara pada transaksi barang dan jasa.
Krisis ini memberikan pelajaran berharga bahwa pertumbuhan yang didasarkan pada pasar finansial dari ekonomi konvensional pada akhirnya tidak akan menciptakan keadilan dan kesejahteraan manusia. Fenomena ini memberikan kesempatan yang lebih baik bagi sistem ekonomi syariah untuk terus tumbuh. Namun, beliau mengutarakan masih banyak tantangan dan hambatan pengembangan sistem ekonomi islam di dunia, khususnya di Indonesia. Tantangan dan hambatan tersebut harus dapat disikapi dengan pikiran yang cerdas dan terus mengembangkan inovasi produk-produk syariah.