Seminar Nasional: Sustainable Business Competitiveness: The Next Challenge

Pada tanggal 24 April 2010, Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis-Institut Pertanian Bogor (MB-IPB) kembali menyelenggarakan acara tahunan berupa penglepasan alumni Program Magister Manajemen Agribisnis (MMA) dan Program Doktor Manajemen Bisnis (DMB) Tahun Akademik 2009/2010 di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Pada kesempatan ini MB-IPB melepas 145 orang alumninya yang telah menyelesaikan studi dan lulus dengan baik pada tahun akademik 2009/2010. Diantara 145 orang, terdapat 3 orang lulusan DMB dan 142 orang lulusan MMA. Dengan demikian hingga saat ini, MB-IPB telah melepas sekitar 2.511 alumni sejak berdirinya tahun 1991 untuk berkiprah dan berkarya nyata di masyarakat. Alumni yang telah diluluskan memiliki latar belakang yang beragam, mulai dari para eksekutif berbagai perusahaan, pegawai pemerintah pusat dan daerah, wirausahawan serta calon-calon pelaku usaha.

Acara Penglepasan Alumni kali ini pun mempunyai arti yang tidak kalah istimewa seperti tahun-tahun sebelumnya, karena dilakukan bersamaan dengan dimulainya Penyelenggaraan Program Doktor Manajemen Bisnis Angkatan 6 (DMB 6) yang berjumlah 31 orang peserta. Bertindak sebagai Keynote Speaker pada Acara Seminar Nasional kali ini adalah Ir. M. Hatta Rajasa (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI) dengan tema “Sustainable Business Competitiveness: The Next Challenge”. Hadir pula pada kesempatan tersebut Menteri Pertanian RI, Ir. Suswono, MMA. Seminar ini menampilkan para pembicara yaitu Presiden Direktur PT SMART Tbk Daud Dharsono, Presiden Direktur PT Perusahaan Perkebunan London Sumatera (Lonsum) Benny Tjoeng, Kepala Departemen Kelestarian PT Musim Mas Gan Lian Tiong dan Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis-Institut Pertanian Bogor (MB-IPB) Arief Daryanto. Presenter program stasiun TV Swasta ANTV Dwi Anggia bertindak sebagai moderator dalam acara tersebut.

Tema ini merupakan rangkaian lanjutan dari tema besar mengenai peningkatan daya saing dunia usaha Indonesia yang telah diangkat selama beberapa tahun terakhir oleh MB-IPB dalam setiap Seminar Nasional yang dilakukan. Pada kesempatan ini Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menilai bahwa masalah pangan adalah persoalan yang serius dan menjadi salah satu tantangan ke depan untuk menciptakan daya saing bisnis yang berkelanjutan. Maka dari itu, pengelolaan pangan tidak bisa dilakukan secara main-main. Pemerintah akan melanjutkan program revitalisasi pangan gelombang II yang ditargetkan terealisasi tahun 2014. Diharapkan, program ini dapat memantapkan swasembada beras, jagung, gula, dan daging sapi. Dalam target pertumbuhan rata-rata produksi pangan periode 2010-2014, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan produksi padi dapat melaju sampai 3,22 persen per tahun. Kemudian produksi jagung tumbuh 10,02 persen per tahun, kedelai 20,05 persen, gula 12,55 persen, dan produksi daging sapi 7,30 persen per tahun. Dengan kondisi ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa meminta agar Institut Pertanian Bogor (IPB) tetap menjadi pusat riset pengembangan teknologi pertanian untuk membangun basis ketahanan pangan dalam negeri.

Dalam sambutannya, Hatta menyampaikan bahwa tantangan lain yang harus dihadapi adalah negara di berbagai belahan dunia saling berkompetisi untuk menarik investasi. Mereka menawarkan tenaga kerja berketrampilan sangat tinggi, riset iptek, dan standar pendidikan. Karena itu, menurutnya, produktivitas menjadi kunci dari keunggulan kompetensi. “Produktivitas merupakan kunci efisiensi, menjelaskan seberapa besar perusahaan atau negara berproduksi dengan sumber daya yang terbatas. Memproduksi lebih besar dengan sumber yang lebih kecil akan lebih baik,” Ujar Hatta. Pada bagian lain, Hatta menuturkan, pemerintah akan memprioritaskan pembangunan ekonomi pada dua belas sektor hingga 2014. kedua belas prioritas sektor tersebut terdiri atas peningkatan ekspor, peningkatan investasi, optimalisasi pengeluaran pemerintah, peningkatan industri, peningkatan pertanian, pengembangan sektor industri, peningkatan pertanian, pengembangan sektor tersier.Prioritas lainnya adalah stabilitas moneter, APBN yang berkelanjutan, stabilitas sektor keuangan, peningkatan kesempatan kerja, pengurangan kemiskinan, serta pengembangan usaha kecil menengah (UKM). Kedua belas sektor tersebut yang menjadi fokus pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daya saing Indonesia di dunia internasional. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar lima persen pada akhir 2010 dan sebesar tujuh persen pada akhir 2014.

Tentunya, untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dibutuhkan daya saing bisnis berkelanjutan yang menjadi tantangan ke depan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan yang dikenal memiliki resiko tinggi (high risk). Kini, perusahaan perkebunan nasional seperti PT SMART Tbk, PT Perusahaan Perkebunan London Sumatera (Lonsum) dan PT Musim Mas menjalankan praktik manajemen terbaik dengan pendekatan kelestarian. Pendekatan kelestarian tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi permintaan pasar internasional.  Produsen minyak kelapa sawit mentah dengan sadar menjalankan seluruh prinsip kelestarian mengikuti regulasi pemerintah demi membangun bisnis yang berkesinambungan.

SMART merupakan unit usaha agrobisnis terintegrasi Sinar Mas Group yang mengelola 140.000 hektar perkebunan kelapa sawit yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dan 450.000 hektar perkebunan kelapa sawit milik Golden Agri Resources yang tercatat di Bursa Efek Singapura. LONSUM adalah perusahaan berusia 105 tahun dan unit usaha agrobisnis Indofood dengan perkebunan kelapa sawit 140.000 hektar. Adapun MUSIM MAS GROUP termasuk perusahaan yang mendapatkan sertifikat kelestarian minyak kelapa sawit mentah (CPO) sesuai dengan standar Meja Bundar Minyak Sawit Lestari (Roundtable on Sustainable Palm Oil).

Ketiga eksekutif perusahaan perkebunan itu menyatakan, kelestarian lingkungan kini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam menjalankan bisnis. Bumi, manusia, dan laba (planet, people, and profit) telah berpadu dalam bisnis perkebunan. Daud Dharsono mengungkapkan pemicu bisnis perkebunan kelapa sawit berkesinambungan adalah pertumbuhan permintaan yang berdampak pada kenaikan produksi. Manajemen dapat menaikkan produksi dengan cara, yaitu produktivitas dan ekspansi.

SMART berkonsentrasi membangun kelapa sawit terintegrasi dari hulu ke hilir menargetkan peningkatan produktivitas tandan buah segar 30 ton per hektar per tahun dan CPO 7,5 ton per hektar per tahun. Sementara ekspansi merupakan cara peningkatan produksi yang berkait dengan isu kelestarian. Isu lingkungan dan persaingan dagang minyak nabati internasional juga menjadi tantangan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Namun, tantangan terbesar adalah ketidaksinkronan kebijakan pemerintah pusat dan daerah, pungutan liar, dan tata ruang. Benny Tjoeng menjelaskan, cara penanaman dan perawatan kelapa sawit tak banyak berubah dalam 100 tahun. Namun, perusahaan memberikan perhatian lebih pada kompetensi pekerja yang punya kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar kebun. Hal ini penting untuk mempermudah penerapan praktik manajemen terbaik dalam mendukung produksi CPO lestari.

Selain itu, talk show ini pun menyinggung muncul kecenderungan pemerintah daerah untuk mengubah nama pungutan yang sebelumnya sudah dinyatakan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri sebagai pungutan yang memberatkan dunia usaha. Ini perlu menjadi perhatian karena upaya pemerintah pusat untuk menekan pungutan yang membebani dunia usaha belum maksimal. Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) Arief Daryanto mengatakan, ketidakpastian aturan menjadi salah satu faktor yang memberatkan pelaku usaha dalam mengembangkan bisnisnya.