Sekolah Bisnis-IPB: Lahirkan Entrepreneur Handal Sektor Agribisnis

Permintaan komoditas pertanian yang terus meningkat, namun di sisi lain lahan pertanian kian sempit, membuat tuntutan untuk melakukan penguatan produktifitas menjadi sebuah keharusan.  Pertanian bukan hanya terkait farm (ladang pertanian) , tetapi juga menyangkut rantai nilai (value chain) yang panjang dalam pengelolaannya, hingga sampai ke meja konsumen. Dalam rantai itulah adanya bisnis from farm to table. Ini berimbas pada luasnya segmen pasar agribisnis. Mulai dari pedagang, perusahaan makanan, retailers, hingga end user yaitu konsumen.
Kenyataan luasnya pasar agribisnis inilah yang membuat Institut Pertanian Bogor (IPB) mendirikan Sekolah Bisnis (SB) IPB, yang juga mulai menerima mahasiswa dari jenjang strata 1. Bukan hanya jenjang magister dan doktor seperti saat SB IPB masih bernama MB (Manajemen dan Bisnis)-IPB. Direktur MB-IPB/SB-IPB Dr Arief Daryanto mengungkapkan, saat ini pasar telah semakin berkembang sehingga ilmu bisnis tidak lagi cukup dipelajari dari jenjang S2. Mempelajari nya sejak dini, selepas SMA kini sudah menjadi kebutuhan.
Selama ini, masyarakat mengartikan bisnis pertanian secara sempit sehingga promosi tentang ruang lingkup bisnis pertanian sangat diperlukan. ”Mulai dari input companies yang menghasilkan, benih, pupuk, bahan makanan. Lalu petani (farmer), pedagang (trader), perusahaan pengolah makanan (food companies), retail (supermarket, hypermarket, bakery, dairy), hingga sampai ke konsumen baik di perkotaan maupun perdesaan. Itu value chain bisnis pertanian,” katanya.  Dipaparkan Arief, saat ini di masyarakat ada pergeseran permintaan produk pertanian dari karbohidrat ke protein, baik itu protein hewani maupun nabati. Peningkatan daya beli masyarakat yang berbasis protein hewani dan nabati ini, sudah pasti dibarengi dengan tuntutan penguatan produktifitas dan lahan. Jika tidak Indonesia bisa jadi net importir.
”Permintaan komoditas pertanian akan semakin meningkat. F bukan lagi hanya food, tetapi masih ada yang lain, misalnya feed (pakan), fuel (bahan bakar), fun (agrowisata), farmasi (obat-obatan), fertilizer (pupuk),” kata Arief. Arief mencontohkan, banyak masyarakat tak tahu kelapa sawit bukan hanya menghasilkan minyak untuk kebutuhan pangan sehari hari. Sawit bisa menjadi energi (fuel), dan bahan berbagai produk kebutuhan manusia lainnya. Demikian halnya dengan ayam potong, yang sebelum menjadi ayam konsumsi juga membutuhkan pakan (feed). Di dalam pakan ada kebutuhan jagung yang sangat besar. Lagi-lagi semuanya menyangkut produk pertanian.
Dia berharap wirausahawan lulusan IPB dapat berperan besar dalam industri agribisnis ini. Lulusan SB IPB dapat terserap selain menjadi wirausahawan dan juga bekerja dalam rantai bisnis pertanian itu Terlebih pada hakekatnya program ini dirancang untuk merespons tuntutan bangsa dan pasar agar lahir para wirausahawan muda yang handal, yang mampu mengelola kekayaan sektor pertanian, kelautan dan bio-sains tropika yang dimiliki oleh Indonesia secara profesional dan berkelanjutan.  ”Kita harus bisa bersaing di pasar Asean, untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian di setiap rantainya. Janganlah melulu berfikir tentang impor, karena kenyataannya kita saat ini adalah eksportir. Ini harus kita manfaatkan, kita harus punya posisi tawar kuat di pasar,” katanya. Dia memberi contoh untuk kelapa sawit dan coklat, Indonesia adalah eksportir terbesar dunia. Namun, kenyataannya, negara tujuan eksporlah yang menikmati nilai tambahnya.  ”Kita ekspor coklat, mereka negara importir yang olah, coklatnya malah kembali ke kita dengan harga yang tinggi,” katanya. Demikian halnya dengan karet, yang nota bene saat ini Indonesia adalah produsen karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Melihat kenyataan inilah SB-IPB dibentuk.  ”Itulah mengapa tagline kita creating new entrepreneur and ventures. Kita hasilkan sarjana yang bisa meningkatkan nilai tambah pertanian di setiap rantainya,” katanya. Terlebih, negara kita masih minim pengusaha. Padahal negara maju memiliki pengusaha minimal 2 persen dari penduduknya. Saat ini Indonesia masih jauh di bawah itu. Dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN pun Indonesia masih jauh tertinggal soal banyaknya pengusaha.
Mengapa entrepreneur di bidang pertanian, karena pertanian memiliki peran strategis dalam pencapaian produk domestik bruto (PDB) RI. ”Masyarakat harus tahu bahwa pertanian bukan hanya menyangkut sektor hulu tetapi juga sektor hilir. Melihat pada rantai nilai (value chainnya), tentu sektor ini signifikan menyerap lapangan kerja dan menambah devisa,” katanya. (nun)